Bukan setangkai bunga mawar, bukan
bingkisan coklat ataupun kata-kata romantis yang kau berikan saat itu. Hanya
sebuah ajakan nonton film kekinian di sebuah bioskop. Malam itu, di dalam mobil
hanya sebuah pertanyaan yang keluar dari mulutmu. “Jadinya gimana?” pertanyaan
yang konon merupakan sebuah penembakan, ah sudahlah mungkin memang kau tidak
pandai berkata-kata. Tapi dari sebuah pertanyaan sederhana dan dengan jawaban yang
sederhana, berhasil mengantar kita ke dalam sebuah hubungan yang serius. Hubungan
yang merubah aku, kamu, menjadi kita.
Meskipun hal baru, namun ku akui kau
menjalaninya dengan sangat baik. LDR yang sempat menjadi keraguan untuk
menjalaninya denganmu. Tapi berkat ketangguhan mu, keraguan ku pun berubah
menjadi keyakinan. Kau menunjukkan bahwa kau tidak selemah yang aku kira,
meskipun pada masa adaptasi tidak jarang kita melawan rasa rindu yang teramat
sangat, rasa ingin menangis yang tidak dapat terbendung lagi dan keadaan yang
kurang mendukung sehingga terkadang membuat masalah dalam hubungan kita. Satu
demi satu masalah berdatangan menjadi kerikil dalam hubungan kita, tapi kita
berhasil melewatinya dengan sangat tenang. Kejujuran, kepercayaan dan
komunikasi yang berhasil membuat kita bertahan sampai saat ini. Bukan suatu hal
yang baru bagi kita untuk mengenal satu sama lain, karena hubungan ini diawali
dengan hubungan persahabatan. Persahabatan yang merubah temen menjadi demen.
3.5 tahun kita saling menjajaki sifat,
mengenal lebih jauh keluarga dan sanak saudara satu sama lain. Acara keluarga
besar menjadi ajang paling bermanfaat untuk memperkenalkan ku dengan keluarga
mu. Walaupuin tidak jarang kaki ku terasa gemetar, jantung berdegup kencang,
mulut seakan tertutup rapat saat awal-awal kau perkenalkan diriku dengan
keluargamu. Tapi itulah yang dinamakan proses, proses yang tidak pernah akan
terlupakan. Akhirnya, di akhir tahun 2014 kau berhasil mengucapkan ijab qabul
dengan suara yang lantang di hadapan semua orang yang hadir di mesjid itu. Hari
itu menjadi hari yang sangat bahagia bagi keluarga besar kita. Hari yang paling
kita nantikan, hari dimana semua konsep pernikahan yang kita idamkan telah direncanakan
dengan persiapan yang sangat matang.
Hari-hari pun menjadi agak sedikit
berbeda setelah kita menyandang status suami-istri. Hari-hari di mana kita
harus pandai membagi waktu antara keluarga mu dan keluarga ku. Ini dianjurkan
agar kita bisa saling mengetahui kebiasaan keluarga kita masing-masing. Setelah
kurang lebih 2 bulan bolak balik kesana kemari, kita pun memutuskan untuk
memulai kehidupan berdua. Belajar hidup mandiri dengan apa yang kita punya. Awalnya
terasa sangat berat, terlebih lagi karena kita belum memiliki perabot apapun
selain kasur dan lemari pakaian. Apalagi saat itu tanggal tua, tanggal kritis
untuk membeli ini itu. Kita tidak bisa menyimpan stok sayuran, lauk dan pauk
atau bahkan sekedar air dingin. Sayuran yang kita beli hari ini pun akan busuk
keesokan harinya jika tidak langsung diolah. Ini sempat membuatku merasa sedih
karena harus membuang makanan, tapi mau gimana lagi. Tapi disitulah aku merasa
kita sedang diuji kesabaran serta kekompakan sebagai sepasang suami istri. Kalau
kata orang tua dahulu, bila hidup mandiri kita akan merasakan ga punya garem,
ga punya beras dsb karena selama kita hidup menumpang semua itu telah tersedia
sehingga tidak pernah merasakan kekurangan. Tapi untunglah, kita berhasil
melewati semua itu. Satu demi satu perabot dicicil untuk mengisi ruangan di
rumah kita. Tak terasa rumah kita pun sudah mulai ramai dengan perabot yang
kita cicil. Sungguh menyenangkan bisa membeli itu semua dengan hasil jerih
payah kita sendiri. Perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya, perasaan
bahagia saat kita membawa trolly bersama untuk membeli kebutuhan belanja
bulanan, bahkan terkadang terjadi perdebatan lucu saat kita berbeda pendapat
untuk membeli suatu barang. Tapi untunglah perdebatan itu hanya sebuah
warna-warni yang menghias buku cerita kita.
“A
great marriage is not when the perfect couple comes together. It is when an
imperfect couple learns to enjoy the differences”
Yah kurang lebih begitulah quote favorit
ku saat ini. Quote yang terkadang membuatku semangat untuk menghadapi semua
perbedaan yang kita miliki. Bukan tidak jarang terkadang aku kurang bisa
menerima perbedaan yang ada dalam diri kita. Apalagi kalau perbedaan itu datang
di saat kita berdua sedang lelah, keadaan di mana perbedaan kecil pun bisa
menyulut menjadi besar. Kalimat yang sangat ku benci adalah “kamu tuh gatau aku
sibuknya gimana”. Kalimat yang keluar dari mulutmu jika sedang membela diri.
Kalimat yang terkadang membuatku sakit hati. Padahal cuma masalah sepele, aku
hanya sekedar mengingatkan makan siang yang terkadang terlupakan olehmu
sehingga membuatmu migrain. Mungkin aku memang tidak sesibuk dirimu, yang di
awal bulan disibukkan dengan pensiunan/sertifikasi guru, rapat, kunjungan
nasabah atau bahkan pada akhir bulan disibukkan dengan istilah tutup buku. Tapi
untunglah sampai saat ini belum pernah dan jangan pernah terjadi perselisahan
yang serius di antara kita. Kalaupun jika perselisihan itu terjadi, semoga kamu
selalu mengingat betapa bahagianya hari pernikahan kita dan betapa besarnya
perjuangan kita sampai ada di tahap ini. Seperti diriku yang selalu berusaha
mengingat semua itu agar selalu bisa bersahabat dengan segala perbedaan yang
terjadi. Maafkan aku suamiku, maafkan keegoisanku, maafkan segala tingkah laku
ku yang terkadang membuat mu gerah. Mungkin memang aku saja yang kurang
pengertian dan kurang sabar dalam menerima semua perbedaan ini. Terima kasih
untuk segala yang telah engkau berikan padaku.
I love you so much and happy 9th
wedding monthiversary
with love,
❤ Your wife ❤