Ga kerasa udah 8 bulan saya resmi menjadi
seorang istri. Sudah mulai banyak yang nanya “udah isi belum?” Setiap ada acara kumpul keluarga pasti ada saja
yang menanyakan hal tersebut. Yah namanya juga kehidupan sosial, saya hanya
bisa tersenyum seraya menjawab “belum,
doain aja yang terbaik”
Awal-awal masih bisa dibawa santai, tapi
entah kenapa akhir-akhir ini agak sensitive dan agak kepikiran kalau ada yang
nanya seperti itu. Maklum saya dan suami juga pengen cepet-cepet punya anak,
supaya rumah kami tidak sepi karena kami juga tidak pernah menunda untuk punya momongan. Usaha dan doa
tidak ada henti-hentinya demi mendapatkan momongan. Mulai dari minum susu
persiapan kehamilan dengan berbagai merk, minum sari kurma, minum asam folat
dan vitamin e. Sampai-sampai tidak pernah kehabisan stock susu & obat.
Berhubung haid saya tidak teratur
semenjak persiapan pernikahan sampai sekarang, setelah menikah saya menggunakan
aplikasi My Calendar di smartphone untuk memudahkan mengingat tanggal haid,
masa subur dsb. Pagi itu, saya lihat aplikasi tersebut. Di sana dikatakan bahwa
saya telah telat haid 3 hari dari jadwal yang seharusnya. Memang sih jadwal
haid saya memang tidak teratur, ah tapi tidak ada salahnya coba testpack pikir
saya. Setelah di testpack, ternyata hasilnya negative. Sedih sih tapi sudahlah,
saat ini saya memang sudah mulai bersahabat dengan hasil testpack seperti itu.
Awalnya memang sedih, bahkan pernah suatu ketika saya telat haid dan pas
testpack hasilnya negative, entah kenapa saat itu terlalu terbawa perasaan sehinnga
saya sangat sensitive dan tidak bisa menahan rasa sedih, ujung-ujungnya cuma
bisa nangis. Di situ suami saya berusaha menenangkan, memberikan dukungan, “Ga usah dipikirin, mungkin belum rejekinya. Sabar aja ya, lagian kan kita baru
beberapa bulan nikah. Tenang, ga usah dipikirin, udah ya jangan nangis.”
Denger suami ngomong gitu, bukannya berhenti nangis, saya malah tambah sedih,
ngerasa belum bisa kasih kebahagiaan. Emang agak lebay sih tapi memang kadang
saya merasa seperti itu Ditambah lagi saya memang tipe orang yang kalau lagi
sedih, lebih baik dibiarkan menagis supaya tenang dibandingkan dihibur ini itu.
Setelah puas nangis, rasanya lega. Akhinya setelah diajak ngobrol serius, kami
memutuskan untuk lebih tenang menyikapi ini semua. Ga usah terlalu dengerin apa
kata orang. Jalanin aja lebih santai.
Beberapa bulan lalu, lagi lagi hasil
testpack negative, memang sih sudah mulai terbiasa tapi jauh di lubuk hati yang
terdalam ada rasa kecewa dan sedih. Tapi kali ini saya dan suami memutuskan
untuk memeriksakannya ke dokter, mumpung libur juga. Alhasil, saya diantar
suami pergi ke klinik dekat rumah yang kebetulan ada dokter kandungan. Setelah
daftar, saya tinggal menunggu dipanggil. Kebetulan saya dapet nomor antrian 1
jadi kami pikir tidak akan lama. Ga lama kemudian, nama saya dipanggil perawat,
saya langsung ditensi dan ditimbang berat badan serta perawat tersebut pun
bertanya tentang keluhan-keluhan yang dialami, setelah menulis keluhan, perawat
tersebut menyuruh saya untuk banyak minum serta menahan pipis karena akan di
USG. Setelah itu, saya disuruh menunggu lagi, karena dokternya belum dateng. Kurang
lebih setengah jam, dokternya baru dateng. Begitu masuk ruangan, entah kenapa
tiba-tiba degdegan, dokter langsung nanya, “disini
ditulis konsultasi. Mau konsultasi apa?” (dengan nada yang sedikit tinggi).
Entah kenapa saya kurang beitu suka dengan cara penyampaiannya. Setelah saya
menceritakan keluhan saya, saya pun langsung disuruh usg. Begitu di USG, dokter
menunjukkan hasilnya lewat monitor. Dokter bilang, kalau terlihat ada sel telur
yang tidak pecah, entah lah dia bilang apa, yang saya ingat dia bilang “ini ada bentuk yang kecil kaya gini, masih
belum pasti ini mium/kista” begitu denger dokter bilang gt, badan langsung
lemeeees. Lalu setelah selesai USG, kembali ke meja dokter.
dr :
“selama ini haid nya teratur ga?”
Saya :
“engga dok (memang semenjak persiapan nikah sampai sekarang agak kurang
teratur)”
dr :
“oh kalau haid nya ga teratur berarti ga subur. Saya saranin kamu test hormon
aja. Mau gak?
(dengan nada kembali tinggi)”
Saya :
“(dengan pikiran yang masih campur aduk
begitu dokter memvonis saya tidak subur) hah iya
dok, baiknya gmn ya (berharap mendapat
penjelasan lebih rinci)?
dr :
“Ya periksa aja hormonnya, ini saya kasih rujukan. Nanti kalau udah ada hasil,
balik kesini lagi”
Saya :
“iya dok (dengan nada lemas dan langsung keluar)”
Setelah itu, giliran urusan administrasi.
Bayar sekitar 250an lebih, WHAT?? Mahal banget dengan cara konsultasi
seperti itu? ga ada penjelasan apapun, ga
sampe 10 menit kali! Saking kesalnya, saya dan suami memutuskan untuk tidak
menebus obat. Sepanjang perjalanan pulang dari klinik sampai kerumah, saya ga
mood untuk ngobrol apapun. Begitu sampai di rumah, diem sejenak. Masuk ke kamar,
awalnya pengen kuat-kuatin, tapi entah kenapa terngiang-ngiang “mium, kista,
tidak subur” ga lama kemudian, suami nanya ”kenapa?”
Kesel sama penyampaian dokter, vonis mium, kista dan yang paling sakit hati
adalah divonis tidak subur! Tanpa babibu lagi saya nangis sejadi-jadinya.
Saking keselnya, saya bilang ke suami saya kalau saya tidak akan pernah mau balik
lagi ke dokter itu! Bukan saya tidak mau menerima kenyataan, tapi cara
penyampaian dokternya yang kurang saya suka. Dokter juga punya etika bukan?
Untuk menyampaikan penyakit yang diderita pasiennya. Apakah harus dengan
gamblangnya memvonis saya tidak subur pada kunjungan pertama dan di depan suami
saya? Apalagi dia dokter senior, seharusnya lebih berpengalaman. Sedih, kesel
semua campur jadi satu. Melihat istrinya nangis sejadi-jadinya sampai
sesegukan. Suami saya dengan tenangnya memeluk saya, “udah ga usah dipikirin omongan dokter tadi, lupain aja. Kita periksa ke
dokter yang lain aja. Udah ga usah dipikirin ya, ga usah takut, kan ada aku.
Kita berdua sama-sama hadepin ya” sesekali saya pun melihat wajah suami
saya, terlihat raut wajah sedih tapi tidak ingin ditunjukkan dan berusaha tetap
tegar di depan istrinya. Setelah puas
nangis dan sedikit tenang, kami pun memutuskan untuk memeriksakan kembali
ke dokter lain untuk second opinion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar